Tuesday, August 5, 2014

Konektivitas Kampus-Industri

Untuk beberapa teman yang anti hegemoni industri atas dunia pendidikan, kemungkinannya akan gak suka dengan urusan hubungan kampus-industri, hehehe. Kampus ya kampus, pusat (re)produksi ilmu pengetahuan, sama sekali tidak di-drive oleh kebutuhan industri. Tapi agak susah juga untuk menceraikan kampus dengan industri ya, setidaknya karena dua hal. Pertama bahwa masalah di masyarakat adalah tanggung jawab ilmu untuk menyelesaikannya. Sebagian dari masalah yang ada pasti berkaitan dengan industri, baik merupakan dampak dari suatu produk industri yang muncul, maupun sebaliknya yaitu justru masalah yang ada di masyarakat adalah peluang bagi industri untuk menawarkan solusinya. Kedua, ini yang relate dengan pengalaman saya sendiri di dunia ha-er-de, yaitu bahwa kebutuhan dari peserta didik untuk bisa segera dapat kerja setelah lulus saat ini makin menguat. Apalagi dengan biaya pendidikan yang makin mahal, jelas masyarakat akan berhitung dengan serius untung ruginya mengambil pendidikan tinggi.


Isu yang pertama bisa dibilang memang ‘agak kompleks’. Usaha perbaikannya akan melibatkan banyak stakeholder besar semisal Dikti, para guru besar kampus, atau bahkan pelibatan pemerintah di tataran kebijakan. Ini karena isu tersebut berhubungan dengan arah kebijakan pendidikan. Sedangkan isu yang kedua bisa dibilang sederhana aja. Ia sebenarnya adalah tanggung jawab tiap peserta didik. Walau demikian, untuk memastikan angka pengangguran tidak tinggi pastinya OK kalo kampus ikut menyediakan solusinya. Lagi pula tingkat kecepatan terserapnya alumni sebuah kampus ke dunia kerja bisa digunakan sebagai ‘jualan’-nya si kampus itu kok.



Waktu jadi campus recruiter dulu, tugas saya adalah membangun relasi dengan kampus-kampus. Dengan modal relasi itu kita cari sebanyak-banyaknya lulusan baru kampus yang qualified untuk jadi kandidat bagi sekian pusisi yang vacant di perusahaan saya. Yang menarik adalah, gak semua kampus punya semacam well-managed career center sebagai titik bertemunya para freshgrad dengan wakil perusahaan seperti saya. Malahan, bisa dibilang yang punya career center yang well-managed itu bisa dihitung dengan jari. Sebutlah UI, ITB, Binus, IPB, UGM, dan LP3I. Yang lainnya? Nggak gitu OK. Ada yang cuma bisa nempelin iklan di mading bagian kemahasiswaannya, dan ada juga yang bahkan gak punya database digital para alumninya (adanya cuma buku wisuda, yang akhirnya saya cari orang untuk entry data ke dalam bentuk digital).

Menurut saya, keberadaan career center yang OK itu adalah syarat minimal membangun konektivitas kampus-industri. Berikut adalah fitur yang harus ada dari sebuah career center di kampus:

1.      Dari sisi alumni/fresh graduate
a.      Bisa lihat lowongan kerja terbaru yang sesuai dengan jurusannya
b.      Bisa upload CV
c.      Bisa lihat jadwal seleksi perusahaan tertentu (in-campus recruitment)
d.      Bisa lihat hasil rangkaian seleksi
e.      Bisa cari kesempatan magang di perusahaan yang disukai
f.        Bisa apply online

2.      Dari sisi perusahaan
a.      Bisa blasting email atau posting lowongan kerja ke para alumni
b.   Bisa sorting alumni yang sesuai dengan kualifikasi (bisa jurusan, IPK, jenis kelamin, asal daerah, dll)
c.       Bisa lihat CV alumni yang OK
d.      Bisa kontak personal alumni yang OK

Tentunya fitur yang saya maksud ini basisnya online. Cost-nya mungkin akan gede untuk develop sistemnya. Tapi kalau akan menghasilkan return yang lebih tinggi (lewat semakin banyaknya mahasiswa baru), kenapa nggak kan? Apalagi kalau kampus itu punya jurusan informatika, bisalah mahasiswanya diminta develop sistem itu. Hitung-hitung nambah portofolio si mahasiswa juga kan.

Itu fitur yang minimal, tentunya bisa dikembangkan lebih jauh lagi kemitraan kampus-industrinya. Misal; seminar oleh dunia industri tentang recent issues, sharing soal karir dari HRD perusahaan, dan lain sebagainya.

Saya pribadi menulis ini karena berharap konektivitas kampus-industri via career center bisa semakin baik. Senang sekali rasanya saat melihat binar mata fresh graduate yang terharu saat kita rekrut. Juga senang karena kita berhasil dapat karyawan baru yang OK. Dan itu semua awalnya dari kerja sama yang apik antara perusahaan dan career center kampus tersebut.. :)


Monday, August 4, 2014

Mentorship

Mentorship. Kenal istilah ini waktu jaman SMA dulu, dipake sm tmn2 Rohis utk kegiatan pengajian mingguan per kelompok. Kalau di kuliah, direduksi jd Asistensi Agama Islam. Saya sebut direduksi krn mentorship lbh dalam dr 'sekadar' asistensi. Tujuan dr asistensi adalah pendalaman materi yg sdh diajarkan di kelas oleh dosen/pengajar utama, sementara mentorship di dalamnya ada mulai dr sekedar sharing knowledge, sesi coaching, smp pengerahan sumber daya. Mentorship menghadirkan rasa tanggung jawab thdp sukses gagalnya mentee (org yg dimentoring). Intinya, mentorship mensyaratkan intensitas interaksi dan progress.

Nah, ternyata mentorship ternyata juga jamak di kalangan businessman. Konon kabarnya begitu. Di Silicon Valley US sana misalnya, usut punya usut beragam perusahaan e-Business di sana rupanya lahir dr rahim nenek moyang bernama Paypal. Dari Paypal kemudian lahir beragam bisnis elektronik lain; Youtube, Kiva, slide, LinkedIn, dll. Coba aja gugling "paypal mafia", "paypal Business Tree" atau sejenisnya.



Perusahaan saya sekarang, Ruma, adalah salah satu cicitnya, mengambil garis dari jalur Kiva. CEO sy sekarang adalah early employee di Kiva. Sampai saat ini, saya masih sering mendengar cerita ttg diskusi dia dg orang-orang LinkedIn atau anak-cucu dr trah Paypal lainnya. Melihat manfaat dr mentorship, penting karenanya menjaga hubungan baik dg atasan. Cb posisikan dia sbg mentor. Kalo perlu, nyatakan statement itu di depan dia kalo kita memposisikan dia sbg mentor kita. Ini penting utk menyamakan ekspektasi kita dan mentor kita. Ini kalau di dunia kerja.


Di dunia bisnis krg lebih sama aja. Seperti contoh Paypal di atas, kita perlu membangun sistem dmn kita bs belajar dg serius dan terarah dr mentor kita. Minimal, perlu bangun kesadaran ttg relasi mentor-mentee itu. Harusnya kita gak gagap dg model belajar ini. Apalagi banyak di antara kita yg biasa ikut mentoring dr jaman sekolah/kuliah dl kan? Hehehe..

Long Time No See

WOW!

Udah lama banget ya blog ini gak disuntik tulisan baru. Tulisan terakhir malah kelihatannya agak panjang. Jadi inget hadits nabi, amal yang sedikit tapi rutin lebih oke dibanding amal yang banyak tapi cepat putus. Tuh, makanya nulis pendek-pendek aja. Yang penting rutin. Hehehe~

Oke cukup dulu untuk pemanasan (another) 'semangat lagi'. Mudah-mudahan nggak segera padam lagi seperti yang sudah-sudah. Hehe.. :p

Friday, March 22, 2013

Sistem Informasi Lembaga Donor?

Sudah lazim kita lihat banyak lembaga donor yang 'blusukan' ke kampung-kampung atau daerah-daerah tertentu untuk temukan target penerima donor. Ada yang datang spesifik ke daerah tertentu, ada juga yang spesifik mengumpulkan orang-orang dengan kondisi tertentu untuk di-develop. 

Beberapa waktu lalu, saya sempat bertemu dengan anak muda bersemangat yang melakukan kegiatan pengembangan masyarakat di daerah Manggarai. Beberapa hari sesudahnya, saya bertemu direktur Dompet Dhuafa yang banyak kembangkan program untuk masyarakat miskin. Mulai dari penyaluran zakat, pendirian Lembaga Kesehatan Cuma-cuma, sampai pinjaman mikro. Banyak juga perusahaan besar yang menyalurkan dana CSR melalui yayasan-yayasan yang punya target spesifik. Sebutlah Indonesia Menyala (di bawah naungan Indonesia Mengajar) yang menjadi saluran pengiriman buku-buku sumbangan tersebut ke daerah-daerah penugasan para Pengajar Muda (salah satunya daerah penugasan saya dulu). Intinya, lembaga-lembaga donor ini mudah untuk menjangkau para calon penerima donor.

Melihat realita tersebut, tentu seharusnya kita optimis terhadap masa depan pembangunan Indonesia. Kalau pun pemerintah tidak mampu menyelesaikan masalah yang ada karena dana yang terbatas (atau karena dikorupsi?), masih banyak lembaga donor yang berkontribusi atas kemajuan Indonesia. Kontribusi ini jika terkelola dengan baik dan tepat sasaran, seharusnya meningkatkan akselerasi pembangunan Indonesia. Kemudian, adakah masalah yang akan menghambatnya?
Akses tampaknya adalah hal yang saat ini belum banyak dibahas. Bukan akses para lembaga donor yang ada kepada komunitas/masyarakat yang perlu diberdayakan, tetapi sebaliknya yaitu akses komunitas yang belum terkembangkan ini kepada para lembaga donor. 

Izinkan saya mengenalkan Anda semua dengan Bang Syamsir, seorang pemuda di desa Pematang Dukuh (pulau Bengkalis, Riau) lulusan S1 Universitas Lancang Kuning di Riau. Seingat saya, di desanya hanya ada 4 orang lulusan S1. Terakhir kali saya berjumpa di desanya, ia bekerja sebagai salah seorang petugas Tata Usaha di sebuah sekolah dasar sekaligus membuka usaha kursus komputer pertama di desanya. 

Ia adalah seorang pemuda yang gigih, peduli dengan masyarakatnya, dan memiliki visi jangka panjang terkait kehidupan di desa dan kabupatennya. Di usianya yang masih muda, tentu semangat belajarnya masih menyala. Saat saya bertugas untuk mengajar di desanya, ia sering mengajak saya berdiskusi mengenai program-program pemberdayaan yang dapat diterapkan di desanya karena kebetulan ia adalah ketua pemuda di sana.

Orang-orang seperti Bang Syamsir ini dapat menjadi penghubung antara komunitas dengan lembaga donor. Mereka memiliki visi tentang masyarakatnya, tercerahkan oleh pendidikan, dan dapat diandalkan oleh para lembaga donor dalam menyelenggarakan program pemberdayaan masyarakat. Sayangnya, akses mereka terhadap lembaga donor/sosial dapat dikatakan masih tidak mudah. Padahal, sekali saja mereka bertemu dengan lembaga donor yang tepat, akan banyak sekali dampak positif yang akan muncul. Mulai dari penggalian informasi mengenai keadaan masyarakat di mana dia tinggal, akses jaringan kepada tokoh-tokoh masyarakat, hingga aspirasi masyarakat yang selama ini belum tersalurkan.

Saya berpikir mengenai perlunya kita memiliki Sistem Informasi Lembaga Donor/Sosial yang mudah diakses oleh para penggerak komunitas seperti Bang Syamsir ini. Berarti, selain menyusun peta lembaga sosial yang ada, kita juga perlu memikirkan bagaimana menyosialisasikan sistem informasi ini kepada masyarakat hingga ke pedalaman. Perlu banyak diskusi lagi soal ini.

*) maaf kali ini tulisan saya agak berantakan strukturnya :)

Monday, February 20, 2012

BOS #1

Dia tu pegang 4 stempel toko mungkin...

 Kurang lebih begitu info yang keluar saat kami sedang ngobrol-ngobrol di meja makan. Sebut saja namanya Pak A, mantan bendahara Pak J di sekolah tempat bertugas mereka berdua sebelumnya. Saat terakhir bertemu, mereka sudah bertugas menjadi kepala sekolah di masing-masing sekolah tempat penugasan yang baru. 

Sebelumnya, mereka ditempatkan di satu sekolah yang sama. Pak J sebagai kepala sekolah dan Pak A sebagai bendahara. Kisah tentang 4 stempel toko itu berlatar konteks saat mereka masih bertugas di sekolah yang sama. Pak A, di kesempatan makan bersama itu, menceritakan soal cara korupsi mantan atasannya tersebut. Sambil mengakui korupsi atasannya, Pak A sambil berseloroh juga mengatakan,

kalau saya paling ya dari uang perjalanan dinas, lebih-lebihin untuk makan. ya itu wajar kan ya... 

Tuesday, January 31, 2012

SMS dari Pulau Rupat

Dalam ketawa dengan anak-anak, kok ada yang nanya, "Pak Rangga kapan pulang ke sini, Pak?"
-SMS dari seorang teman guru di Rupat, Bengkalis.

Melalui ini hanya ingin mengatakan, anak-anak memang begitu tulus adanya. Entah saya yang terlalu GR atau bagaimana, tapi pertanyaan itu untuk saya sendiri adalah hadiah. Ia menjadi hiburan bagi saya ketika mendapatkan SMS itu. Sampai sekarang saya belum sempat membalas SMS teman guru ini. Sengaja, saya ingin menyiapkan waktu untuk sekedar langsung menelpon anak-anak ini melalui teman guru saya itu. Mudah-mudahan, juga menjadi hadiah bagi mereka :)

Seingat saya, saat menjadi guru dulu, sosok guru yang anti-marah tidak selalu dilakoni. Faktor kenakalan murid, variasi interaksi, juga faktor internal saya pribadi, tentu juga menghadirkan sosok guru yang tidak selamanya baik-bermanis muka. Maka, saya sebut pertanyaan itu lahir dari ketulusan karena hal tersebut; mereka tak melulu mengingat saat-saat dimarahi gurunya, justru -mungkin- mereka lebih banyak merasa-rasai suasana keakraban yang pernah terbangun. Saat main bola bersama di Sabtu pagi, saat jalan-jalan ke sekitar sekolah yang mereka sebut 'Marathon', saat-saat mendebarkan pembagian hadiah lomba mewarnai di sekolah, atau saat adu perkalian di penghujung waktu belajar sebelum pulang, semuanya memang penuh tawa. Akrab, dekat, bersahabat.

Saya bersyukur dengan semakin lebarnya tawa mereka sejak kami makin lama dekat. Saya bersyukur mereka dapat mengalahkan kakak kelas mereka di SD induk untuk soal perkalian. Saya bersyukur mereka tak rendah diri karena bangunan sekolah mereka yang tidak lebih bagus dengan sekolah induk. Ah, saya bersyukur pernah ada di antara mereka dan tetap mereka kenang...

Semoga rasa syukur ini mewujud perilaku yang lebih konkrit untuk mereka...

Nb: untuk bang Jumari yang sudah dan masih menjadi penghubung saya dengan anak-anak Cingam: terima kasih bro! :) calon kepala sekolah mesti gigih ngajar anak Cingam, hehe.. kalau kemarin ke Bandung untuk wisuda, semoga besok ke Jakarta untuk antar anak wisuda ya bro, hehehe :)

Monday, October 17, 2011

Yang Jauh dari Rumah


Berbulan bahkan bertahun jauh dari rumah, kira-kira apa yang akan kita rasakan? Biasa saja? Mengalir saja sambil menghitung hari? Atau bahkan menikmatinya? Bisa saja. Tapi tentu, itu sensasi yang hanya akan muncul ketika kita tahu kapan akan kembali ke kampung halaman. Contohnya seperti apa yang saya jalani sekarang. Atau seperti para karyawan Pertamina di daerah yang juga tahu kapan akan kembali. Atau, seperti teman-teman kita yang sedang kuliah di luar negeri. Lalu, apa rasanya jauh dari rumah (keluarga) berbulan bahkan bertahun tanpa tahu kapan akan kembali?



Sebutlah namanya 'Anis', seperti tatto yang ada di tangan kirinya. Ia duduk di sebelah kiri saya di speed boat tadi. Ia dari Kudus. Setelah 4 hari perjalanan, sampailah di Dumai dan selanjutnya menyeberang ke Rupat untuk bekerja di sebuah perusahaan kayu. "Ini baru pertama kali saya ke Sumatera," kata dia.



Di sebelah kanan saya, sebutlah namanya "Karni". Dari wajahnya, mungkin usianya 40-an. Ia dari Probolinggo. Ini juga perjalanan pertamanya ke Rupat. Kebetulan, ia akan ke desa tempat saya mengajar. Beda dengan Anis, ia ke Rupat untuk ikut membangun rumah-rumah bagi transmigran yang akan datang dari Jawa. Mereka berdua, tidak tahu kapan akan kembali ke kampung masing-masing.



Tapi orang seperti ini yang saya kenal di sini tidak hanya mereka. Ada juga Pak Paijo, orang dari tanah Jawa yang menumpang di rumah keluarga angkat Wildan, teman Pengajar Muda saya di Titi Akar. Pak Paijo rutin mengirim uang ke keluarganya di Jawa sana. Merantau jauh ke perbatasan negeri, 'sekedar' untuk mengirim satu juta rupiah. Yang pasti, belum nampak juga kapan Pak Paijo akan balik kampung.



Ada juga yang sosok lainnya, sebutlah namanya Pak Dirman. Ia dari Garut. Penjual es keliling di sini. Saya biasa membeli jualannya. Di suatu obrolan, ia sempat bertanya apa saya dari Sunda, karena logat yang berbeda dari kebanyakan orang di sini. Tentu saya jawab bukan. Tapi dari obrolan tersebut, saya tahu ia dari Garut. Terakhir kali beliau ke Garut di lebaran terakhir ini. Fakta bahwa beliau masih kembali ke Rupat, menunjukkan beliau belum memiliki cukup modal untuk usaha di kampung sendiri. Belum tahu kapan akan kembali ke kampung.



Kondisi Pak Dirman sama dengan Bang Budi, pemuda asal Langkat, Medan. Bang Budi cuma berdua saja di Rupat ini dengan istrinya. Dari obrolan di atas motor tadi, saya jadi tahu bahwa Bang Budi juga berniat kembali ke kampung. Tapi, sama dengan Pak Dirman, Bang Budi belum tahu kapan modal akan cukup untuk bisa buka usaha di kampung sendiri.



Saya tidak bisa banyak komentar. Hanya rasa kagum pada beliau-beliau ini. Kagum dengan kegigihan dan kemandirian mereka. Tapi rasa itu juga ditemani oleh perasaan lain. Jauh dari keluarga, jauh dari kerabat, tidak banyak kenalan di tempat rantau, tentu bukan pilihan mereka. Mungkin prihatin, mungkin sedih, tapi takdir punya perhitungannya sendiri. Mereka akan tetap pada tanggung jawab mereka ke keluarga masing-masing. Tapi mungkin kita juga perlu mawas diri, jangan-jangan Tuhan menitipkan kita tanggung jawab kemudahan penunaian tanggung jawab mereka itu...

Posted via Blogaway