Monday, October 17, 2011

Yang Jauh dari Rumah


Berbulan bahkan bertahun jauh dari rumah, kira-kira apa yang akan kita rasakan? Biasa saja? Mengalir saja sambil menghitung hari? Atau bahkan menikmatinya? Bisa saja. Tapi tentu, itu sensasi yang hanya akan muncul ketika kita tahu kapan akan kembali ke kampung halaman. Contohnya seperti apa yang saya jalani sekarang. Atau seperti para karyawan Pertamina di daerah yang juga tahu kapan akan kembali. Atau, seperti teman-teman kita yang sedang kuliah di luar negeri. Lalu, apa rasanya jauh dari rumah (keluarga) berbulan bahkan bertahun tanpa tahu kapan akan kembali?



Sebutlah namanya 'Anis', seperti tatto yang ada di tangan kirinya. Ia duduk di sebelah kiri saya di speed boat tadi. Ia dari Kudus. Setelah 4 hari perjalanan, sampailah di Dumai dan selanjutnya menyeberang ke Rupat untuk bekerja di sebuah perusahaan kayu. "Ini baru pertama kali saya ke Sumatera," kata dia.



Di sebelah kanan saya, sebutlah namanya "Karni". Dari wajahnya, mungkin usianya 40-an. Ia dari Probolinggo. Ini juga perjalanan pertamanya ke Rupat. Kebetulan, ia akan ke desa tempat saya mengajar. Beda dengan Anis, ia ke Rupat untuk ikut membangun rumah-rumah bagi transmigran yang akan datang dari Jawa. Mereka berdua, tidak tahu kapan akan kembali ke kampung masing-masing.



Tapi orang seperti ini yang saya kenal di sini tidak hanya mereka. Ada juga Pak Paijo, orang dari tanah Jawa yang menumpang di rumah keluarga angkat Wildan, teman Pengajar Muda saya di Titi Akar. Pak Paijo rutin mengirim uang ke keluarganya di Jawa sana. Merantau jauh ke perbatasan negeri, 'sekedar' untuk mengirim satu juta rupiah. Yang pasti, belum nampak juga kapan Pak Paijo akan balik kampung.



Ada juga yang sosok lainnya, sebutlah namanya Pak Dirman. Ia dari Garut. Penjual es keliling di sini. Saya biasa membeli jualannya. Di suatu obrolan, ia sempat bertanya apa saya dari Sunda, karena logat yang berbeda dari kebanyakan orang di sini. Tentu saya jawab bukan. Tapi dari obrolan tersebut, saya tahu ia dari Garut. Terakhir kali beliau ke Garut di lebaran terakhir ini. Fakta bahwa beliau masih kembali ke Rupat, menunjukkan beliau belum memiliki cukup modal untuk usaha di kampung sendiri. Belum tahu kapan akan kembali ke kampung.



Kondisi Pak Dirman sama dengan Bang Budi, pemuda asal Langkat, Medan. Bang Budi cuma berdua saja di Rupat ini dengan istrinya. Dari obrolan di atas motor tadi, saya jadi tahu bahwa Bang Budi juga berniat kembali ke kampung. Tapi, sama dengan Pak Dirman, Bang Budi belum tahu kapan modal akan cukup untuk bisa buka usaha di kampung sendiri.



Saya tidak bisa banyak komentar. Hanya rasa kagum pada beliau-beliau ini. Kagum dengan kegigihan dan kemandirian mereka. Tapi rasa itu juga ditemani oleh perasaan lain. Jauh dari keluarga, jauh dari kerabat, tidak banyak kenalan di tempat rantau, tentu bukan pilihan mereka. Mungkin prihatin, mungkin sedih, tapi takdir punya perhitungannya sendiri. Mereka akan tetap pada tanggung jawab mereka ke keluarga masing-masing. Tapi mungkin kita juga perlu mawas diri, jangan-jangan Tuhan menitipkan kita tanggung jawab kemudahan penunaian tanggung jawab mereka itu...

Posted via Blogaway

No comments:

Post a Comment