Saturday, September 24, 2011

Politik PNS


"Dia orangnya wakil bupati..."

Dua hari ini baca dua artikel soal Pekanbaru. Artikel kemarin adalah tulisan Pak Dahlan Iskan yang CEO PLN itu, dan satu artikel lagi adalah berita di situs internet. Yang pertama bicara soal mangkirnya pemkot Pekanbaru dari kewajiban bayar listrik 30 milyar Rupiah dan artikel kedua soal 'teguran' Pak Mendagri kepada plt walikota Pekanbaru Syamsurizal.

Syamsurizal adalah mantan bupati Bengkalis. Setelah menjabat selama dua periode, kini beliau di Pekanbaru. Entah bagaimana caranya, kisruh pilkada antara Firdaus dan istri gubernur Riau yang harus dilakukan pemungutan suara ulang, bisa mendudukkan mantan bupati ini jadi plt walikota Pekanbaru. Entah siapa yang ingin diselamatkan, entah dari mana juga datangnya rasa berkuasa itu, yang pasti dalam posisi sebagai plt ia kemudian melakukan mutasi besar-besaran. Beberapa pejabat ada yang diturunkan jabatannya. Yang lain dimutasi ke satuan kerja lain.

Mutasi besar-besaran sepertinya memang hal biasa. Sayangnya, indikasi mutasi adalah proses bagi-bagi kue pasca pilkada juga tidak kecil. Di sini misalnya, camat yang pernah saya temui di desa penempatan sebelumnya adalah 'orangnya wakil bupati' menurut obrolan di masyarakat. Kepala UPTD pendidikan di Rupat Utara juga baru saja diganti. Alasan yang sayup-sayup terdengar kurang lebih serupa; orangnya calon bupati yang kalah.

Keterlibatan PNS dalam politik tentu bukan hal yang baik. Sebagai SDM birokrasi yang dibayar oleh negara, idealnya PNS adalah penggerak proses pembangunan siapa pun bupati/walikota yang memimpinnya. Mereka bukan abdi bupati/walikota, melainkan abdi masyarakat. Sayangnya, proses pengisian jabatan dan mutasi seringkali tidak murni soal kinerja, bisa soal dukungan terhadap kepala daerah, bisa juga soal hubungan kekerabatan. Mau tak mau, para pejabat PNS itu akhirnya harus menjadi lebih politis.

Kondisi yang tidak baik ini harus segera dibuatkan solusinya. Sayangnya, so far saya belum bisa mengusulkan kebijakan apa-apa selain melakukan reformasi di organ Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat (Baperjakat). Dua organ itu penting diberesi. Dua organ itu harus jadi departemen HRD-nya pemerintahan daerah yang profesional. Nantinya, semua proses rekrutmen dan promosi serta mutasi PNS betul-betul murni pertimbangan kinerja, bukan karena besarnya sogokan, dukungan terhadap orang-orang tertentu, ataupun karena kedekatan kekerabatan.

Rangga Septyadi

Alumni UI, guru SD di Pulau Rupat, Riau

Posted via Blogaway

Friday, September 23, 2011

Jalan Musiman





Tanah di sini subur, Pak Rangga. Besi pun ditanam bisa tumbuh... (gurauan seorang warga)

Bukan cuma cuaca yang ada musimnya di Rupat. Kondisi jalanan juga ada musimnya. Keduanya jelas saling mempengaruhi. Saat cuaca sering hujan, jalanan biasanya jelek. Kalau sedang sering panas tanpa hujan, jalanan juga jadi lumayan bagus. Apa sebabnya? Jelas, hujan seringkali membuat jalan tanah menjadi basah dan akhirnya susah untuk dilewati.



Ada dua jenis jalan di Rupat, jalan aspal bertanah dan jalan tanah beraspal. Tentu, logikanya sama dengan makan mie pakai saos sambel atau makan saos sambel pakai mie. Mana yang lebih banyak, itulah perbedaannya. Jalan tanah beraspal itu untuk menyebut ruas-ruas jalan yang sebenarnya sudah disemen tetapi rusak dan akhirnya bolong-bolong. Saat hujan, ia akan bercampur dengan tanah yang akhirnya membuatnya menjadi licin. Sedihnya, untuk yang rusak itu, tanah akhirnya kembali menguasai jalanan. Jadikah kita kerepotan kalau hujan datang setiap hari.



Contohnya seperti kemarin. Pengawas di kecamatan sebelah mengadakan pesta pernikahan anaknya. Saya dan teman PM datang ke sana. Ada dua pilihan jalur, satu lewat Sungai Empang dan satu lagi lewat Makeruh. Keduanya akan menyeberangi sungai. Bedanya, di jalur yang pertama jalan daratnya lebih panjang dari yang jalur yang kedua. Saya lebih suka jalur pertama. Alasannya karena ongkos akan lebih murah. Di jalur pertama, sungai diseberangi dengan sampan. Ongkosnya lima ribu rupiah saja. Sedang jalur kedua, ongkosnya dua puluh ribu karena bukan sekedar menyeberangi sungai, tetapi menyusuri sungai dengan pompong (semacam perahu kecil bermotor). Selain itu,  menaikan sepeda motor ke atas pompong juga lebih sulit daripada menaikkannya ke sampan. Maklum saja, dermaga yang tersedia tak selamanya bisa tepat setinggi permukaan air. Intinya, di hari itu pada awalnya kami berencana lewat jalur Sungai Empang.



Setelah melewati jalan-jalan aspal dan gerombolan babi kecil yang bermain-main, jalan tanah mulai nampak. Tapi dua hal lain tampak juga di hadapan; satu orang yang sedang membersihkan tanah di kakinya setelah melewati jalan tanah itu, serta satu motor lagi yang penumpangnya terpaksa turun karena rusaknya jalan. Maka, keputusan penting kami ambil; mundur dan ambil jalur lain.



Inilah satu contoh bahwa kondisi jalan di Rupat memang ada musimnya. Juga contoh bahwa kondisi jalan masih betul-betul merepotkan. Sebagai catatan penting, di pulau yang besarnya kurang lebih sama dengan pulau sebelah, amat minim sekali ruas jalan di pulau ini yang bisa dilewati mobil. Di pulau sebelah ada lampu merah, di sini bahkan ada pendidik yang tak begitu paham aturan lampu lalu lintas. Di pulau sebelah, Chevrolet, Nissan, dan kerabatnya banyak berkeliaran, di pulau ini mobil pick up pun tidak banyak.



Infrastruktur jalan itu padahal penting sekali. Di Jakarta, kemacetan (bisa disamakan dengan ketiadaan jalan bagus dalam konteks menghambat mobilisasi orang), bisa merugikan hingga 30 milyar Rupiah. Di Rupat, mungkin jauh lebih kecil dari itu. Tapi 1 milyar saja juga sudah banyak bukan?



Beberapa waktu lalu, tiga menteri PAN datang ke sini, termasuk Pak Menko. Mereka ke sini untuk melihat rencana pembangunan jembatan Malaysia-Rupat. Saya jelas bersyukur akan rencana itu. Tentu, sambil terua berdoa bahwa kondisi jalan-jalan di Rupat tak lagi tergantung cuaca alam. Kan tidak lucu, sesampainya di Rupat mobil-mobil dari Malaysia putar balik di musim-musim penghujan...

Rangga Septyadi

Alumni UI, guru SD di Pulau Rupat, Riau

Posted via Blogaway

Thursday, September 22, 2011

Pengalaman


Setahun mengajar, seumur hidup menginspirasi

Menjalani kehidupan sebagai PM di daerah banyak mengantar saya pada pengalaman-pengalaman hidup yang pantas saya syukuri. Tentang interaksi saya dengan anak-anak ajar di SD, tentang bertemu dengan orang berbudaya atau berkarakter beda dengan yang pernah ditemui sebelumnya, tentang mengelola hubungan dengan orang yang baru dikenal, juga tentang merasai dan melihat dari dekat realitas kehidupan sebagian bangsa kita.

Saat ini, pengalaman yang terakhir sedang saya syukuri betul-betul. Bagaimana tidak, sedikit sekali di antara banyak lulusan perguruan tinggi yang menemukan pengalaman serupa; keluar dari kampung halaman sendiri, bertemu dengan keseharian hidup masyarakat yang sama sekali berbeda dengan yang pernah dijumpai, lengkap dengan kompleksitas masalah mereka. Saya yakin, banyak hal yang tidak bisa saya katakan sebelum saya merasai pengalaman-pengalaman ini.

Hidup bersama realitas masyarakat kita nyatanya memang penting. Ia membantu kita melihat lebih jelas problema kehidupan di sekitar kita. Hingga kelak ketika kita diberi kesempatan mengelola sebagian aspek kehidupan orang banyak, kita lebih pandai merasa. Sederhananya, sisi tenggang rasa kita akan kehidupan kelompok menengah bawah mungkin akan lebih besar. Satu hal, sifat itu dibangun tak selalu harus dengan menjadi PM. Pada jarak yang lebih dekat, kita bisa mendekat ke tetangga sekitar tinggal kita. Poinnya sederhana; dekati kehidupan masyarakat dengan lebih jelas.

Saat melihat lebih dekat, kita mulai tahu mengapa banyak masyarakat kita yang mati-matian mengejar status PNS, mengapa banyak kebijakan pemerintah yang tidak cocok dengan masyarakat, mengapa mengandalkan pengawasan masyarakat akan pembangunan infrastruktur bukan hal yang mudah, mengapa kultur feodalisme begitu kuat, dan mengapa pegawai honor perlu mendapat kesempatan lebih besar untuk bisa bersaing dengan PNS.

Saat kita mendekat, kita jadi tahu bahwa bisnis sosial dan social entrepreneurship betul-betul perlu kita kembangkan, bahwa sinetron betul-betul mengkhawatirkan, bahwa ketimpangan yang muncul akibat otonomi daerah sudah sangat besar, bahwa banyak elit yang menikmati kebodohan rakyatnya, bahwa banyak organ birokrasi tak pernah betul-betul bekerja, dan yang paling miris menurut saya adalah bahwa suasana kekeluargaan/paguyuban di desa, sebagiannya (sepertinya sebagian besar), telah mewujud menjadi kepalsuan yang masing-masing orangnya sudah mafhum satu sama lain...

Rangga Septyadi

Alumni UI, mengajar di Pulau Rupat, Riau

Posted via Blogaway

Tuesday, September 20, 2011

Karena Bahasa Juga Soal Rasa


Gue, Kamu, Saya, Elo, Anda, Kula, Awak, Dikau, Kowe, Dalem, Antum

Beberapa kata memiliki makna yang kurang lebih sama. 'Saya', 'aku', dan 'gue' adalah salah satu contohnya. Tapi, seperti judul di atas, bahasa juga memiliki rasa. Maka, bukan hal yang dianggap sopan ketika kita menggunakan 'gue' ke guru kita, juga bukan hal yang nyaman di telinga saat kita menggunakan 'saya' saat ngobrol di warkop dengan kawan akrab kita.

Ada di komunitas yang menggunakan bahasa Jawa tentu hal baru untuk saya, yang lahir dan besar di Jakarta. Awal datang ke sini, saya tidak terlalu paham apa itu 'reti', 'kuwi', atau sekedar apa beda 'madang' dengan 'mangan'. Ketidakpahaman itu tentu mendatangkan keterkejutan tertentu. Apa lagi saat merasa dibicarakan oleh para folks ini dengan 'de-e' (dia). Tapi, ternyata keterkejutan itu juga dialami oleh beberapa teman yang berasal dari Jogja atau daerah sekitarnya. Apa pasal? Sederhana, 'rasa' dalam penggunaan bahasa Jawa di sini seperti agak hilang.

Tak ada pilihan kata yang berbeda, antara berbicara dengan teman dan berbicara dengan orangtua. Tidak ada 'tilam' atau 'tiyang'. Tidak ada 'kula' atau 'dalem', hanya ada 'aku' atau 'inyong'. Maka rasa menjadi lebih hambar dalam berbahasa.

Di Amerika atau di Eropa, tidak ada sapaan 'mas' atau 'abang'. Panggilan terhadap orang yang lebih tua langsung menyebut nama. Suasana egaliter lah yang muncul dalam interaksi. Lalu, apakah absennya pilihan kata yang beda (halus-biasa-kasar) di masyarakat Jawa Rupat ini bisa diartikan bahwa prinsip egaliter dipegang teguh oleh mereka? Jawaban saya setelah beberapa bulan di sini jelas; tidak.

Rangga Septyadi

Alumni UI, mengajar di pulau Rupat, Riau

Posted via Blogaway

Posted via Blogaway

Monday, September 19, 2011

Ini Media Kita!



Ada semangat dalam diri kami saat berdiskusi dengan kepala dinas pendidikan Bengkalis, ketika sowan lebaran ke kantor dinas kemarin. Semangat itu lahir, karena melihat semangat yang ditunjukkan oleh bapak kepala dinas ini. Sepengalaman saya, tidak mudah menemukan seorang birokrat yang memiliki visi jangka panjang yang oke. Pengalaman beberapa bulan terakhir ini mempertemukan saya dengan banyak birokrat yang terjebak pada rutinitas kerja. Hal-hal baru seperti tidak termunculkan, kalah oleh pilihan cara kerja mereka; sekedar menyelesaikan urusan administratif.

Dalam kesempatan sowan itu, kami sampaikan newsletter Kabar Indonesia Mengajar yang baru dibawa oleh Fatia (PM Bengkalis) dari Jakarta saat cuti. Setelah diberikan, spontan Pak Kadisdik teringat dengan idenya, yaitu membuat semacam buletin bertema pendidikan yang akan diedarkan di kalangan pendidik di kabupaten ini. Visi jangka panjang  sering nampak dalam ide-ide sederhana tapi bernas. Akhirnya, ide sederhana newsletter itu kita sambut gembira. Sangat gembira.

Sebenarnya, kami pun sudah membuat buletin pendidikan seperti yang ingin dibuat oleh beliau. Isinya sederhana saja, ada reportase kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan, karya anak untuk mengapresiasi murid-murid di lokasi penugasan, salam redaksi, dan juga opini yang memuat tulisan-tulisan segar soal pendidikan dari rekan-rekan guru. Tapi, bukan takut tersaingi, kami malah setuju sekali dengan rencana Pak Kadisdik. Mengapa? Jelas sekali alasannya; distribusi akan lebuh masif, tampilan lay-out akan lebih oke (bukan cuma cetakan hitam putih), melibatkan lebih banyak unsur pendidik di kabupaten ini, serta merangsang dinas pendidikan aktif berinteraksi dengan para pendidik. Satu lagi, ini akan jadi santapan 'suplemen' yang luar biasa untuk para guru, di tengah arua media yang lebih banyak angkat berita soal konflik-konflik kekuasaan elit lokal.

Alam pikir kita tergantung input dan prosea pikir yang terjadi. Maka, penting bagi kita untuk mendukung para pendidik ini dengan menyediakan alternatif media yang sama sekali memberi warna berbeda. Untuk itulah media buletin atau newsletter ini penting. Ini media kita! Dari sana ide-ide pengembangan pendidikan beranak pinak, hingga menjelma jadi bank ide yang menunggu eksekusi tangan-tangan dingin birokrat bervisi tinggi!

Rangga Septyadi

Alumni UI, mengajar di pulau Rupat, Riau

Posted via Blogaway