Thursday, September 22, 2011

Pengalaman


Setahun mengajar, seumur hidup menginspirasi

Menjalani kehidupan sebagai PM di daerah banyak mengantar saya pada pengalaman-pengalaman hidup yang pantas saya syukuri. Tentang interaksi saya dengan anak-anak ajar di SD, tentang bertemu dengan orang berbudaya atau berkarakter beda dengan yang pernah ditemui sebelumnya, tentang mengelola hubungan dengan orang yang baru dikenal, juga tentang merasai dan melihat dari dekat realitas kehidupan sebagian bangsa kita.

Saat ini, pengalaman yang terakhir sedang saya syukuri betul-betul. Bagaimana tidak, sedikit sekali di antara banyak lulusan perguruan tinggi yang menemukan pengalaman serupa; keluar dari kampung halaman sendiri, bertemu dengan keseharian hidup masyarakat yang sama sekali berbeda dengan yang pernah dijumpai, lengkap dengan kompleksitas masalah mereka. Saya yakin, banyak hal yang tidak bisa saya katakan sebelum saya merasai pengalaman-pengalaman ini.

Hidup bersama realitas masyarakat kita nyatanya memang penting. Ia membantu kita melihat lebih jelas problema kehidupan di sekitar kita. Hingga kelak ketika kita diberi kesempatan mengelola sebagian aspek kehidupan orang banyak, kita lebih pandai merasa. Sederhananya, sisi tenggang rasa kita akan kehidupan kelompok menengah bawah mungkin akan lebih besar. Satu hal, sifat itu dibangun tak selalu harus dengan menjadi PM. Pada jarak yang lebih dekat, kita bisa mendekat ke tetangga sekitar tinggal kita. Poinnya sederhana; dekati kehidupan masyarakat dengan lebih jelas.

Saat melihat lebih dekat, kita mulai tahu mengapa banyak masyarakat kita yang mati-matian mengejar status PNS, mengapa banyak kebijakan pemerintah yang tidak cocok dengan masyarakat, mengapa mengandalkan pengawasan masyarakat akan pembangunan infrastruktur bukan hal yang mudah, mengapa kultur feodalisme begitu kuat, dan mengapa pegawai honor perlu mendapat kesempatan lebih besar untuk bisa bersaing dengan PNS.

Saat kita mendekat, kita jadi tahu bahwa bisnis sosial dan social entrepreneurship betul-betul perlu kita kembangkan, bahwa sinetron betul-betul mengkhawatirkan, bahwa ketimpangan yang muncul akibat otonomi daerah sudah sangat besar, bahwa banyak elit yang menikmati kebodohan rakyatnya, bahwa banyak organ birokrasi tak pernah betul-betul bekerja, dan yang paling miris menurut saya adalah bahwa suasana kekeluargaan/paguyuban di desa, sebagiannya (sepertinya sebagian besar), telah mewujud menjadi kepalsuan yang masing-masing orangnya sudah mafhum satu sama lain...

Rangga Septyadi

Alumni UI, mengajar di Pulau Rupat, Riau

Posted via Blogaway

No comments:

Post a Comment