Friday, September 23, 2011

Jalan Musiman





Tanah di sini subur, Pak Rangga. Besi pun ditanam bisa tumbuh... (gurauan seorang warga)

Bukan cuma cuaca yang ada musimnya di Rupat. Kondisi jalanan juga ada musimnya. Keduanya jelas saling mempengaruhi. Saat cuaca sering hujan, jalanan biasanya jelek. Kalau sedang sering panas tanpa hujan, jalanan juga jadi lumayan bagus. Apa sebabnya? Jelas, hujan seringkali membuat jalan tanah menjadi basah dan akhirnya susah untuk dilewati.



Ada dua jenis jalan di Rupat, jalan aspal bertanah dan jalan tanah beraspal. Tentu, logikanya sama dengan makan mie pakai saos sambel atau makan saos sambel pakai mie. Mana yang lebih banyak, itulah perbedaannya. Jalan tanah beraspal itu untuk menyebut ruas-ruas jalan yang sebenarnya sudah disemen tetapi rusak dan akhirnya bolong-bolong. Saat hujan, ia akan bercampur dengan tanah yang akhirnya membuatnya menjadi licin. Sedihnya, untuk yang rusak itu, tanah akhirnya kembali menguasai jalanan. Jadikah kita kerepotan kalau hujan datang setiap hari.



Contohnya seperti kemarin. Pengawas di kecamatan sebelah mengadakan pesta pernikahan anaknya. Saya dan teman PM datang ke sana. Ada dua pilihan jalur, satu lewat Sungai Empang dan satu lagi lewat Makeruh. Keduanya akan menyeberangi sungai. Bedanya, di jalur yang pertama jalan daratnya lebih panjang dari yang jalur yang kedua. Saya lebih suka jalur pertama. Alasannya karena ongkos akan lebih murah. Di jalur pertama, sungai diseberangi dengan sampan. Ongkosnya lima ribu rupiah saja. Sedang jalur kedua, ongkosnya dua puluh ribu karena bukan sekedar menyeberangi sungai, tetapi menyusuri sungai dengan pompong (semacam perahu kecil bermotor). Selain itu,  menaikan sepeda motor ke atas pompong juga lebih sulit daripada menaikkannya ke sampan. Maklum saja, dermaga yang tersedia tak selamanya bisa tepat setinggi permukaan air. Intinya, di hari itu pada awalnya kami berencana lewat jalur Sungai Empang.



Setelah melewati jalan-jalan aspal dan gerombolan babi kecil yang bermain-main, jalan tanah mulai nampak. Tapi dua hal lain tampak juga di hadapan; satu orang yang sedang membersihkan tanah di kakinya setelah melewati jalan tanah itu, serta satu motor lagi yang penumpangnya terpaksa turun karena rusaknya jalan. Maka, keputusan penting kami ambil; mundur dan ambil jalur lain.



Inilah satu contoh bahwa kondisi jalan di Rupat memang ada musimnya. Juga contoh bahwa kondisi jalan masih betul-betul merepotkan. Sebagai catatan penting, di pulau yang besarnya kurang lebih sama dengan pulau sebelah, amat minim sekali ruas jalan di pulau ini yang bisa dilewati mobil. Di pulau sebelah ada lampu merah, di sini bahkan ada pendidik yang tak begitu paham aturan lampu lalu lintas. Di pulau sebelah, Chevrolet, Nissan, dan kerabatnya banyak berkeliaran, di pulau ini mobil pick up pun tidak banyak.



Infrastruktur jalan itu padahal penting sekali. Di Jakarta, kemacetan (bisa disamakan dengan ketiadaan jalan bagus dalam konteks menghambat mobilisasi orang), bisa merugikan hingga 30 milyar Rupiah. Di Rupat, mungkin jauh lebih kecil dari itu. Tapi 1 milyar saja juga sudah banyak bukan?



Beberapa waktu lalu, tiga menteri PAN datang ke sini, termasuk Pak Menko. Mereka ke sini untuk melihat rencana pembangunan jembatan Malaysia-Rupat. Saya jelas bersyukur akan rencana itu. Tentu, sambil terua berdoa bahwa kondisi jalan-jalan di Rupat tak lagi tergantung cuaca alam. Kan tidak lucu, sesampainya di Rupat mobil-mobil dari Malaysia putar balik di musim-musim penghujan...

Rangga Septyadi

Alumni UI, guru SD di Pulau Rupat, Riau

Posted via Blogaway

1 comment: